Lebih dari sekedar sebuah agama, Islam sebagai way of life mengonsepkan bahwa pemberian nama seseorang merupakan bagian yang padu dari proses pendidikan. Sebauh nama berkaitan erat dengan penyandangnya : ketika namanya disebut, secara tidak langsung dia didoakan oleh orang yang memanggilnya. Pun tidak jarang seseorang tersugesti untuk merealisasikan namanya. Nama juga digunakan Rasulullah SAW sebagai reward atas jasa seseorang terhadap Islam.
Dengan kebagusan namanya, setiap umat Nabi Muhammad diharapkan akan hadir di tengah manusia (di dunia dan akhirat) dengan penuh izzah (kebanggan) serta keistimewaan akhlaknya. Rasulullah SAW sendiri mempunya dua buah nama yang mempunyai arti yang sama "Yang Terpuji", yaitu Ahmad (QS. 61 : 6) dan Muhammad. Dipadu dengan keindahan akhlaknya, beliau hadir sebagai figure ideal yang memang pantas untuk dipuji.
Allah SWT secara tegas melarang sesama mukmin untuk memberikan julukan yang buruk (QS. Al-Hujurat : 11). Hal ini diperkuat pula dengan perintah Rasulullah SAW untuk menamai seseorang dengan naman-nama yang baik, karena pada hari kiamat kelak setiap peserta hisab akan dipanggil namanya digandengkan dengan nama bapak masing-masing (HR Abu Dawud dengan sanad hasan).
Dalam proses pendidikan umat Rasulullah SAW juga mencanangkan "gerakan pemberian nama baik" untuk para mukmin. Nama-nama buruk diganti dengan nama yang baik, seperti Harb (perang) diubah menjadi Salim (damai), Al-Mudhhaji (yang berbaring) menjadi Al-Munba'its (yang bangkit/gesit), Hazn (susah) menjadi Sahl (mudah), dan sebagainya.
Sementara untuk nama yang sudah baik dihias dengan julukan yang menggambarkan nilai plus seseorang seperti julukan-julukan Singa Allah (Hamzah bin Abdul Muthalib), Hawari Rasulullah (Zubair bin Awwam), Yang Cemerlang dan Yang Suci (Fathimah binti Muhammad), Al-Faruq (Umar bin Khattab) dikalungkan kepada para tokoh terdepan Islam sebagai reward bagi jasa-jasanya dalam syi'ar dakwah Islam.
Adapun hikmah yang dapat kita petik dari gambaran di atas adalah : Pertama, Rasulullah SAW sebagai murabbi (pendidik) utama sungguh memperhatikan secara cermat segala aspek dalam diri mutarobbi (anak didik). Dalam hal ini aspke psikologis menjadi sorotan utama beliau.
Kedua, mari kita mengakui kesalahan kita selama ini. Kita semua merupakan murobbi, paling tidak untuk putra/putri kita masing-masing. Sudahkah kita memberikan nama yang baik, atau julukan yang baik sebagai reward (hadiah) atas sikap mereka yang manis? Ataukah kita lebih sering memberikan julukan yang memalukan sebagai punishment (hukuman)?
Sementara itu patut disayangkan bahwa nama-nama bagus semisal Siti Aisyah, Ahmad, Nurlia dan Salamah dikisahkan secara miring dalam beberapa lagu yang berkonotasi erotisme jahiliyah. Hal ini menjadi "sebab nilai setitik rusak susu sebelanga". Untuk membersikan susu, "Gerakan Nama Baik untuk Semua" ada baiknya dibudayakan kembali.
Masalahnya, siapkah kita mendidik putra/putrid kita menjadi pribadi sesuai namanya? (Sri Vira Chandra, S.S)
sumber : Republika
Posting Komentar