Lahir dari keluarga petani, Muhammad Ainurrahman merantau mengayunkan langkah demi sebuah perubahan. Ia bertekad ingin kuliah agar menjadi IT developer dan pendakwah.
Enam tahun berlalu, Eno, sapaan akrab pemuda ini, telah melewati masa-masa SMP-SMA dengan ketekunan dan kesabaran. Bersekolah di SMP-SMA Mathlaunnajah, Madura, Jawa Timur, ia setiap hari berjalan kaki 1 Km lebih pulang pergi ke sekolah.
Tidak seperti teman-temannya, yang selalu memiliki uang saku untuk sekadar melepas haus, Eno justru mesti puasa. Karena itu, meski lahir dari keluarga petani yang papa, Eno tumbuh menjadi sosok pemuda pekerja keras dan memiliki visi hidup yang tinggi.
Hasil panen yang tidak pernah cukup membiayai kebutuhan, seperti biaya sekolah. Mendidik pemuda kelahiran Sumenep, 19 Agustus 1993 ini selalu berprestasi. Berkat kegigihannya, selama 6 tahun ia selalu mendapat Beasiswa dari bantuan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) di sekolahnya.
Hijrah ke Jakarta
Setelah ayahnya, Abdullah Salam, pergi ke rahmatullah pada 2010 lalu, Eno, hijrah ke ibukota meninggalkan ibunya, Mughiroh (70). Mewujudkan tekad untuk kuliah di Jakarta merupakan tujuan utama keberangkatannya.
Bermodalkan uang 600 ribu rupiah, putra bungsu dari 2 bersaudara ini mampir di sebuah Panti Asuhan Yatim Piatu, Nurul Awal di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Tempat baru yang diperkenalkan oleh saudara sepupunya tersebut memberikan tempat tinggal dan makan 3 kali sehari secara cuma-cuma. Syaratnya, harus mengajar ngaji anak-anak asuh yang ada di panti tersebut.
Namun setelah beberapa bulan, Eno merasa cita-citanya ke Jakarta sulit untuk diwujudkan jika waktunya dihabiskan di panti. Eno mengambil keputusan, pamit meninggalkan panti untuk bekerja di tempat lain. Agar punya pendapatan lebih untuk menambah modal biaya kuliah.
Eno belum beruntung, ia mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di sebuah perumahan di Bekasi. Eno merasa pekerjaannya tidak layak bagi seorang laki-laki. Dengan gaji Rp 600 ribu/bulan Eno bertahan sambil mencari pekerjaan yang lain.
Tidak sampai setahun, Eno diterima bekerja pada sebuah toko berlian di daerah Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Namun belum sesuai harapan, Gajinya hampir sama dengan gaji sebelumnya saat menjadi pembantu rumah tangga.
Bahkan lebih sulit, jam kerja di toko tersebut lebih panjang. Sehingga membuat Eno kesulitan untuk memulai kuliah. Akhirnya setelah merasa cukup, Eno memutuskan berhenti bekerja. Ia kembali lagi ke panti, mengajar ngaji anak-anak yatim sambil menata rencana kuliahnya.
Tidak disangka, setelah dihitung-hitung, tabungan nya mencapai Rp 2 juta. Alhamdulillah, ternyata cukup untuk memulai kuliah. Dan pada 4 September 2012, merupakan hari bersejarah bagi Eno. Ia tercatat sebagai mahasiswa Teknik Informatika, Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta Selatan.
Satu langkah cita-citanya telah tercapai, Eno bersyukur dapat menikmati profesi barunya sebagai seorang mahasiswa. Walau lagi-lagi Eno harus berjalan kaki dari panti menuju kampus selama 1 jam perjalanan.
Baru 3 bulan, langkah Eno terhenti, uang tabungan yang selama ini digunakan untuk membiayai kuliahnya sudah habis. Untuk meneruskan langkah, berulang kali ia mencari pekerjaan lagi dan berulang kali pula ia harus berhutang. (hr/bwa/rol)
Redaktur: Saiful Bahri
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/05/19/33507/eno-anak-petani-bermental-baja-bercita-cita-jadi-pendakwah/#ixzz2ThnSTTZj
Posting Komentar