Benar saja rupanya Erwin pun divonis dua tahun penjara. Sebuah hunian sementara yang sama sekali tak ramah karena berbagai jenis penjahat berkumpul dalam satu ruangan.
“Saya benar-benar melihat bagaimana sipir-sipir jadi perantara masuknya narkoba, bagaimana tahanan berduit yang dapat perlakuan istimewa dan kamarnya dipisahkan. Bagaimana tukang perkosa tapi banyak duitnya bisa keluyuran di luar sel. Padahal saya harus sempit-sempitan dengan dua belas penjahat miskin di satu sel,” sebut Erwin.
Mau makan enak cukup beri uang sipir untuk beli makanan di luar lingkungan penjara. Kalaupun tak mengantongi uang, cukuplah saja memberikan nomor rekening sipir ke keluarga tercinta. Nantinya akan ditransfer sejumlah uang untuk akomodasi selama sebulan di hotel prodeo.
“Kalau orang seperti saya dalam sel sempit biasanya sering digebukin karena baru masuk. Sampai titik saya kesal, saya balas si penguasa kamar dan akhirnya saya lah yang paling ditakuti penjahat di situ. Walaupun sempat diasingkan ke ‘penjara tikus’, penjara yang pas buat satu orang saja dengan posisi duduk. Makan dan buang air di situ semua sambil menunduk. Tapi kalau penjahat kaya, tinggal bilang sipir buat dipindahin ke kamar yang luas sendirian,” papar Erwin.
Transaksi memuakkan di dunia hukum akhirnya membuat Erwin sadar bahwa tak selamanya hidup mapan lebih adil ketimbang hidup di jalanan. Keluar dari neraka dunia itu pun akhirnya Erwin memilih bekerja sebagai tukang tambal ban.
“Saya harap sih setelah ini nanti ada perubahan di bidang hukum. Jangan cuman orang miskin seperti saya saja selalu jadi sasaran hukum,” tutup Erwin ketika rintikan hujan mulai turun.
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/04/22/131528/2561873/1567/2/cerita-tukang-tambal-ban-eks-preman-soal-bobroknya-hukum-di-indonesia
Posting Komentar