6. Penyakit Keenam: Berkata Keji, Jorok dan Cacian

“Jauhilah kekejian, karena Allah tidak menyukai kekejian dan membuat-buat kekejian.” (HR. Nasa’i, al-Hakim dan Ibnu Majah)
“Orang Mu’min itu bukanlah orang yang suka melukai, bukan orang yang suka melaknat, bukan orang yang suka berkata keji dan bukan pula orang yang suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)
“Berkata kotor dan vulgar adalah dua cabang diantara cabang-cabang nifaq.” (HR. Tirmidzi, al-Hakim)
      Yang dimaksud dengan perkataan vulgar (al-bayan) disini adalah mengungkapkan sesuatu yang tidak boleh diungkapkan. Atau berterus terang menyampaikan apa yang manusia merasa malu mengungkapkannya secara vulgar.
  
“Sesungguhnya kekejian dan saling berkata keji bukan dari Islam sama sekali, dan sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abu Dunya)
      Hakikat berkata keji ialah mengungkapkan hal-hal yang buruk dengan ungkapan-ungkapan yang vulgar. Kebanyakan hal tersebut berkaitan dengan masalah seksual dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Orang-orang yang rusak memiliki ungkapan-ungkapan vulgar dan keji yang dipergunakan untuk mengungkapkan hal tersebut, sedangkan orang-orang shalih menghindarinya dan menggunakan bahasa-bahasa kiasan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Allah sangat pemalu lagi Mahamulia; mema’afkan dan menggunakan bahasa kiasan – memakai kata ‘menyentuh’ untuk mengungkapkan jima. Jadi, menyentuh, masuk dan bergaul adalah kiasan untuk jima’, dan kata-kata itu tidak keji. Penggunaan bahasa kiasan juga dipakai untuk membuang hajat untuk buang air.
      Ada ungkapan-ungkapan keji yang tidak layak disebutkan dan biasanya dipakai untuk mencaci.
      Hal yang mendorong berkata keji diantaranya keinginan untuk menyakiti atau kebiasaan akibat pergaulan dengan orang-orang fasik dan orang-orang hina yang diantara kebiasaan mereka adalah mencaci-maki.
Seorang Arab badui berkata kepada Rasulullah saw, “Wasiatilah aku.” Nabi saw. bersabda: “Kamu harus bertaqwa kepada Allah; jika seseorang mencelamu dengan sesuatu yang diketahuinya ada pada dirimu maka janganlah kamu membalas mencelanya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, niscaya dosanya kembali kepadanya dan pahalanya untuk kamu, dan janganlah kamu mencela sesuatu.” Orang Arab Badui itu berkata, “Setelah itu aku tidak pernah mencela sama sekali.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
“Mencaci-maki orang Mu’min adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dua orang yang saling mencaci-maki apa yang mereka katakan, maka adalah atas (tanggungan) orang yang memulai dari keduanya sampai orang yang teraniaya melampaui batas.” (HR. Muslim)
“Diantara dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang tuanya..” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Nabi saw. bersabda: “Dia mencaci bapak seseorang lalu orang itu mencaci bapaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Penyakit Ketujuh: Nyanyian dan Syair

      Adapun syair, maka perkataannya yang baik adalah baik dan perkataannya yang buruk adalah buruk. Tetapi berkonsentrasi penuh untuk syair adalah tercela.
      Membaca syair tidak haram jika tidak mengandung kata-kata yang dibenci.

8. Penyakit Kedelapan: Senda Gurau

      Asalnya tercela dan dilarang kecuali dalam kadar yang sedikit.
      Yang dilarang adalah senda gurau yang berlebihan atau terus menerus, karena bersenda gurau secara terus menerus berarti sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia. Senda gurau yang berlebihan akan menyebabkan banyak tertawa padahal banyak tertawa itu bisa mematikan hati dan menjatuhkan kewibawaan. Senda gurau yang terbebas dari hal-hal tersebut tidak tercela.
Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda “Sesungguhnya aku bersenda gurau tetapi aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”
      Orang seperti Nabi saw. bisa bersenda gurau tanpa berdusta, sedangkan orang selainnya apabila telah membuka pintu senda gurau maka tujuannya adalah membuat orang tertawa sesukanya. Padahal Nabi saw. bersabda:
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu perkataan yang membuat teman-teman duduknya tertawa, tetapi dengan perkataan itu dia terjerumus ke dalam api neraka lebih jauh dari bintang tsuraiya.”
Selain itu banyak tertawa juga menjadi tanda kelalaian dari akhirat. Nabi saw. bersabda :
“Sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
      Tertawa yang tercela adalah tertawa terbahak-bahakn sedangkan tertawa yang terpuji adalah tersenyum hingga terlihat giginya tetapi tanpa terdengar suara keras. Demikianlah senyum Rasulullah saw. (Hadits semakna dengan ini terdapat di dalam riwayat Muslim)

9. Penyakit Kesembilan: Ejekan dan Cemoohan

      Hal ini diharamkan, karena dapat menyakiti.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (al-Hujurat:11)
      Arti ejekan ialah penghinaan, pelecehan dan penyebutan berbagai aib atau kekurangan untuk mentertawakannya.
      Dari Abdullah bin Zam’ah bahwa ia mendengar Rasulullah saw berkhutbah lalu menasihati mereka tentang tertawa mereka kepada orang yang kentut. Nabi saw. bersabda: “Mengapa salah seorang diantara kalian menertawakan apa yang diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

10. Penyakit Kesepuluh: Janji Palsu

      Lidah sangat mudah memberikan janji, sedangkan jiwa terkadang tidak memungkinkan untuk menepatinya sehingga janji itu teringkari.
“Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janji (kalian).” (al-Ma’idah:1)
      Ibnu Mas’ud tidak pernah memberikan janji kecuali dengan mengatakan ‘insya Allah’. Ini lebih utama. Kemudian jika hal itu difahami sebagai kepastian janji maka harus ditepati kecuali berhalangan. Jika pada saat memberikan janji sudah bertekad untuk tidak menepati maka hal itu adalah nifaq.
“Empat hal siapa yang berada padanya maka dia adalah munafiq dan siapa yang salah satu sifat tersebut ada padanya maka pada dirinya ada salah satu sifat nifaq hingga ditinggalkannya: Apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, apabila membuat kesepakatan berkhianat, dan apabila bertengkar berlaku curang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

bersambung...

Posting Komentar