Hati seseorang seperti sebatang pohon. Tumbuh, berkembang sesuai dengan perawatannya. Semakin baik ia merawat semakin baik pula hatinya. Sebaliknya, jika tidak dirawat maka hati akan layu dan mati. Kering, tandus seperti padang pasir. Keras seperti batu.
Hati sakit (maridlul qalbi), hati keras (qaswatul qalbi), hati mati (mautul qalbi) dapat berimbas pada tatanan kehidupan manusia dan lingkungan sekitar. Akan timbul ketidaknyamanan dan kerusakan lingkungan. Korupsi, kriminal, konflik. Global warming, banjir, longsor, kebakaran dan lain-lain.
Padahal Allah swt telah mengingatkan kita agar merawat bumi ini. Ia berfirman, “Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’”(Al-Baqarah: 11).
Sombong, bohong dan kerasnya hati manusia, sampai-sampai Allah berfirman, “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah: 7). Belum lagi di akhirat di dunia saat ini, kepedihan itu sudah terasa. Korupsi, kriminal, konflik. global warming, banjir, longsor, kebakaran dan lain-lain.
Kata ganti mereka adalah orang-orang yang sakit, keras, dan mati hatinya. Tanpa terkecuali kita, banyak berbuat kerusakan. Allah mengutus rasul-Nya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rahmat bagi alam semesta. Permasalahan ini, sudah terjawab oleh rasulullah saw dalam sabdabnya, “Duduklah bersama ulama a’milin, dan dengarkanlah hukama (ahli hikmah). Sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan”.
Maknanya, hati kita harus senantiasa hidup, berdzikir kepada Allah. Menimba ilmu dan cahaya hikmah yang diwariskan kepada ulama dan hukama. Mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/17/49825/hidupkan-hati-dengan-cahaya-hikmah/#ixzz33G0shE7D
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Posting Komentar