Sejak 1 April 2014, saya tidak lagi berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Lembaga Pemerintah NonKementerian di Republik ini. Alhamdulillah, akhirnya saya berani memutuskan memilih jalan resign ini. Untuk sebagian orang, mencari pekerjaan atau berhenti bekerja bukanlah perkara yang sulit dan perlu dipikirkan terlalu rumit. Tapi bagi saya, masalah resign ini mengharuskan saya bertempur sekaligus berdamai dengan diri saya sendiri. Bagaimanapun, enam tahun sudah sukses membentuk mental dan pola pikir saya menjadi “sangat PNS”.

Saya salut luar biasa kepada teman-teman PNS yang masih berpendirian teguh menjadi bagian dalam perbaikan sistem pemerintahan negara dan memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Kualitas PNS Indonesia sudah semakin membaik. Tudingan-tudingan negatif yang memojokkan PNS, tidak sepenuhnya benar. Mungkin ada yang menjadi PNS karena “sogokan” atau “titipan”, tapi banyak teman saya yang sangat brillian, lulusan universitas termuka, atau jebolan perusahaan ternama. Kalau PNS dituduh pemalas dan sering membolos, teman saya rela berangkat dari rumah sejak pagi buta dan berdesakan di kereta demi masuk kantor tepat waktu. Memang ada PNS yang punya rekening buncit, tapi juga banyak rekan kerja saya yang masih mencicil sepeda motor dan setia hidup sederhana di rumahnya yang jauh di pinggiran kota. Kalau PNS dianggap menggerogoti APBN, teman saya malah ada yang mengerjakan tugas-tugasnya sampai petang dan bahkan hari libur tanpa uang lembur.

Keputusan untuk resign tidak saya ambil dengan gegabah dalam waktu satu atau dua malam. Saya harus bertukar pikiran denganBapak, Kakak, dan dengan banyak teman tentang pilihan ini. Banyak yang mendukung, tapi juga ada berondongan komentar negatif dari beberapa teman. Bahkan ada beberapa yang melabeli saya aneh, pecundang, kufur nikmat, atau disorientasi masa depan.

Sebut saja saya aneh.

Saat ratusan ribu atau jutaan orang lain mendambakan menjadi PNS, saya malah menyia-nyiakannya dengan alasan yang menurut mereka mengada-ada. Image PNS masih lekat dengan pekerjaan yang nyaman dan bergengsi. Bergaji pasti setiap bulan, tidak mudah diberhentikan, tunjangan kesehatan yang mencukupi, dan jaminan uang pensiun di hari tua sampai mati. Apapun jenis pekerjaan dan pangkatnya, yang penting jadi PNS.

Sebut saja saya pecundang.

Karena saat menjadi bagian dari sistem dan memiliki kesempatan bekerja konkret memperbaiki lubang di sana sini, saya malah “menyerah”. Lalu, apa bedanya saya dengan mereka di luar sana yang hanya bisa mengeluh dan mengkritik kinerja penyelenggara negara?

Sebut saja saya kufur nikmat.

Karena dengan gaji dan tunjangan yang lumayan, perjalanan dinas dalam dan luar negri dengan fasilitas pesawat dan hotel yang nyaman, kesempatan kuliah dengan bantuan biaya pendidikan, serta peluang masa depan menjadi pejabat dengan mobil dinas baru, ternyata saya masih mencari yang “lain”.

Sebut saja saya disorientasi masa depan.

Saat PNS lain sedang berlayar dengan bahtera keluarganya di lautan tenang, saya malah memilih kembali bersandar di pelabuhan dan merombak kapal. Mereka sedang meniti karir gemilang di kantor, membangun rumah tinggal, membeli kendaraan, dan melihat anak-anaknya bertumbuh. Sedangkan saya?

Enam tahun digaji dengan pajak dari masyarakat, sudah cukup mengubah saya menjadi orang yang “berbeda”. Saya ingat saat wawancara penerimaan CPNS dulu, saya berujar mantap bahwa saya akan memberikan tenaga dan pikiran untuk kemajuan instansi. Begitu pula saat pengambilan sumpah jabatan, saya berjanji untuk tidak mengkhianati amanah yang ditanggungkan pada saya. Tapi kenyataannya? Saya sudah terlena dan menyimpang begitu jauh dari jalan lurus PNS. Tidak ada lagi ide-ide hasil pemikiran, karya nyata dan kreativitas, serta udara pengabdian yang saya hembuskan. Hari-hari kerja monoton saya habiskan dengan menunggu tanggal gajian sambil membuat laporan kerja sekedarnya, menghitung tunjangan kinerja sambil mengerjakan tugas harian yang itu-itu saja, juga tidak lupa mengharap perjalanan dinas yang bisa saya manfaatkan untuk jalan-jalan dan tidur di hotel berbintang. Kemajuan negara semacam apa yang diharapkan dari pegawainya yang hanya sibuk memikirkan saldo rekening tabungan? Kreativitas saya lumpuh dan nurani saya mati perlahan. Kalau enam tahun lalu saya masih sanggup menakar putih dan hitam, enam tahun kemudian saya tidak mampu mengartikan abu-abu.

Menjadi abdi negara, sejatinya bukan pekerjaan yang mudah. Sampai kapan pun, abdi berarti menjadi pelayan masyarakat. Karena dari setiap waktu kerja, lembar kertas, data internet, daya listrik, dan setiap rupiah yang disia-siakan, disana ada tuntutan para pembayar pajak dan Tuhannya. Saya memilih resign bukan berarti sok idealis. Saya hanya ingin menjaga lentera yang meredup ini untuk tetap menyala. Saya tidak ingin lentera itu berhenti berpendar dan hanya menyisakan penyesalan suatu saat nanti. Walaupun mungkin dianggap terlambat, tapi biarlah saya mencoba kesempatan menempa diri dengan pekerjaan lain. Kembali ke pelabuhan dan merombak kapal, bagi saya itu bukan persoalan menjadi ksatria atau pecundang. Bukankah hidup tidak hanya tentang status dan apa yang bisa kita dapatkan? Selama bisa selalu setia memperjuangkan hidup, bukankah tidak pernah ada pilihan yang konyol dan keliru?

Terima kasih kepada rekan-rekan yang telah banyak menginspirasi dan menjadi benderang jalan, juga kepada Bapak yang telah merelakan saya untuk memilih jalan yang lain.

http://boliboli.wordpress.com/2014/05/30/resign-pns-belajar-menentukan-pilihan/

Posting Komentar