Oleh: Haris Muslim, Lc
 Suatu ketika ummul mukminin Aisyah RA. bertanya kepada baginda Nabi SAW.: "Wahai rasulullah, adakah kewajiban jihad bagi wanita ?" Rasul menjawab : "Ya, jihad yang tidak ada perangnya. Yaitu haji dan umrah" (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dalam riwayat lain dikatakan, Siti Aisyah pernah bertanya : "Bukankah jihad itu sebaik-baiknya perbuatan, maka tidakkah kita berjihad ? " Nabi bersabda : "Akan tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji mabrur" (HR Bukhari Muslim)
Pernah juga seorang sahabat bertanya kepada Nabi : Amal apakah yang paling utama? Nabi menjawab : Iman kepada Allah dan RasulNya," kemudian Nabi ditanya lagi : Apakah setelah itu ?, Nabi menjawab: Jihad di jalan Allah, Nabi ditanya kembali : Kemudian apa ?, Nabi menjawab :Haji Mabrur (HR Bukhari)
Kata haji dan jihad satu sama lainnya seolah-olah tidak mempunyai korelasi langsung. Masing-masing seperti mempunyai makna tersendiri. Kata haji identik dengan rukun Islam kelima, ia merupakan ibadah ritual yang diwajibkan bagi yang mampu. Waktu, tempat dan tata cara ibadahnya sudah ditentukan oleh syari'at. Sedangkan jihad lebih identik dengan medan perang, perjuangan fisik melawan kaum kafir demi menegakkan kalimat Allah dimuka bumi. Ia diwajibkan bagi setiap individu muslim. Meskipun dengan kedudukan fardlu kifayah, akan tetapi kewajiban jihad mempunyai perhatian dan penekanan tersendiri dari baginda rasul. Rasul pernah bersabda : "Barang siapa yang mati sedangkan ia belum pernah berperang (jihad) dan tidak pernah punya niat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan munafiq" (HR Muslim dan Abu Daud)
Mendengar kata haji, maka yang terbayang oleh kita adalah serangkaian prosesi ibadah mulai dari ihram, thawaf, sa'i, mabit dimina, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah melempar jumrah dan yang lainnya. Sedangkan mendengar kata jihad maka yang terbayang oleh kita adalah medan pertempuran antara kaum muslimin melawan kaum kuffar.
Akan tetapi jika kita memperhatikan dialog antara Siti Aisyah dengan baginda Nabi, diperkuat dengan dialog antara Nabi dengan salah seorang sahabat tentang perbuatan yang utama, maka haji dengan jihad sangat erat kaitannya. Bahkan haji bagi wanita, kedudukannya disamakan dengan jihad. Dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa tidak semata-mata Rasulullah SAW mengatakan bahwa haji itu sebaik-baiknya jihad -setidaknya untuk kaum hawa- kalau tidak ada titik temu antara keduanya.
Kata jihad menurut bahasa adalah masdar dari jaahada yang berarti : mencurahkan segala kemampuan dalam menghadapi musuh (istifragh al-wus'i fi mudafa'atil 'aduw). Sedangkan menurut istilah jihad berarti : berjuang dalam memerangi orang kafir (bazlul juhdi fi qitalil kuffar), bisa juga berarti : berjuang melawan diri sendiri, syaitan dan orang-orang fasik (mujahadatunnafs was syaithan wal fussaq).
Adapun berjuang melawan diri sendiri, yaitu dengan cara mempelajari ilmu-ilmu agama, mengamalkan dan mengajarkannya kembali kepada orang lain. Berjuang melawan syaithan, dengan cara menolak segala tipu daya dan bujuk rayunya. Adapun berjuang melawan orang kafir dan fasik bisa dengan menggunakan kekuatan fisik, harta, lisan atau hati. (Said Abu Jaib, al-Qamus al-fiqhi : 71)
Allah swt berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. " (QS. 49:15)

Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan wajaahadu "fisabilillahi bi amwalihim wa anfusihim" adalah mengorbankan jiwa dan harta paling berharga yang mereka miliki dalam ta'at kepada Allah dan mengharap ridla Nya. Inti dari jihad itu sendiri menurut Sayyid Qutb dalam fi Dhilalil Qur'annya adalah memerangi kehidupan jahiliyyah yang senantiasa merongrong kemurnian nilai luhur keimanan yang ada dalam diri, hingga dapat merealisasikan nilai luhur keimanan tersebut dalam kehidupan nyata dan dalam pergaulan antara sesama manusia secara sempurna.

Adalah kurang tepat jika ada anggapan bahwa jihad terbatas pada medan perang fisik saja. Memang perang fisik (qital) cukup mendominasi makna dari kalimat jihad, ini ditunjukkan oleh banyaknya ayat dan hadits yang menyeru terhadap perang dijalan Allah, dan tidak jarang itu menggunakan kata jihad di samping kata qital.

Akan tetapi medan jihad tidak terbatas sampai disitu, ia bisa mencakup berbagai aspek kehidupan. Memerangi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, memberantas kemaksiatan, menciptakan keamanan dan ketentraman sehingga ummat bisa melakukakan ibadah dengan tenang, adalah termasuk jihad. Pokoknya, segala bentuk aktifitas muslim baik secara individu (fardli), keluarga ataupun kelompok (jama'i), baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, ataupun sosial kemasyarakatan dan sebagainya, selama itu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dengan kesiapan mengorbankan harta dan jiwa demi menegakkan kalimah Allah dimuka bumi, maka itulah yang disebut jihad fi sabilillah.
Jika jihad memiliki cakupan yang begitu luas dan membutuhkan pengorbanan harta dan jiwa, maka semua makna tersebut baik secara tersirat ataupun tersurat bisa kita dapatkan dalam kewajiban ibadah haji. Ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu (isthitha'ah), mampu secara fisik dan finansial. Ini merupakan pendidikan jihad yang paling utama, yaitu kesiapan mengorbankan harta dan jiwa (al maal wal anfus).
Dan kalau kita tengok satu persatu praktek ibadah haji, semuanya sarat dengan pendidikan jihad (tarbiyah jihadiyyah) bagi ummat Islam baik secara fardi ataupun jama'i. Pakaian ihram yang melambangkan kepasrahan seorang hamba di hadapan rabb-Nya adalah simbol kesiapan mengorbankan jiwa. Thawaf, sa'i, dan wukuf merupakan simbol latihan dan pendidikan individu dalam tha'at terhadap Allah. Melempar jumrah merupakan simbol memerangi godaan syaitan.

Ibadah haji dilakukan disatu tempat pada waktu yang sama, dalam pakaian yang sama -terutama ketika wukuf di padang Arafah- menunjukkan akan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kesatuan yang dilandasi oleh kesamaan aqidah. Sebuah isyarat akan pentingnya kekompakan kaum muslimin dalam menghadapi kaum kuffar sebagai musuh bersama.

Seluruh ibadah haji menuntut kesiapan fisik secara prima, inipun sebuah isyarat bahwa medan jihad sesungguhnya memerlukan kekuatan fisik disamping kekuatan ruh dan aqal. Rasul bersabda : 
"Seorang mukmin yang kuat lebih Allah sukai dari pada seorang mukmin yang lemah" (HR Muslim)

Masih banyak pelajaran yang bisa kita ambil, akan tetapi pada intinya disamping ibadah haji itu sendiri merupakan jihad, ia pun sebagai medan latihan bagi ummat Islam untuk menghadapi medan jihad sesungguhnya. Yaitu medan kehidupan yang begitu luas. Karenanya kesuksekan ibadah haji tidak terbatas selama berada ditanah suci, akan tetapi kesuksesan sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa membawa ruh dan semangat haji itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika sebelum haji pun kita sudah dibebani kewajiban untuk berjihad, maka sepulang melaksanakan ibadah haji hendaknya kewajiban itu bisa kita laksanakan dengan baik dan sempurna.

"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?, (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya" (QS. 61: 10-11). wallahu A'lam

)* Penulis adalah Peserta Program Pasca Sarjana American Open University Cairo-Egypt. Mantan Ketua FOSPI masa jihad 98-99.

Posting Komentar