Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbahasa, tertulis maupun lisan, secara baik. Ini karena pemakaian bahasa yang baik akan mendatangkan kebaikan, tidak saja kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk atau jahat juga akan mendatangkan keburukan atau kejahatan, yang pada akhirnya akan kembali kepada dan dirasakan oleh dirinya sendiri. "Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri''. (QS Al-Isra': 7).
Bahasa atau perkataan yang baik diibaratkan oleh Allah dalam QS Ibrahim 24-25 laksana sebuah pohon yang baik. Akarnya kuat, sehingga mampu menyimpan air dan menahan tanah dari erosi.
Cabang-cabangnya menjulang ke langit, sehingga bisa menjadi tempat berteduh dan memberikan kesejukan dan kenyamanan kepada orang yang berada di sekitarnya. Dan pada setiap musim mengeluarkan buahnya untuk dikonsumsi oleh manusia.
Belajar dari ibarat itu, seorang muslim harus senantiasa memperhatikan kualitas pemakaian bahasaya, baik isi maupun cara menyampaikannya. Kepada siapa ia berbicara, apakah kepada orang tua, guru, teman, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun, ia harus bisa menjaga ucapannya.
Bahkan dalam melakukan dakwah, Islam sangat menekankan penggunaan bahasa yang baik, yaitu berupa sikap bijaksana, nasihat dan argumen yang baik (QS An-Nahl: 125). Rasulullah tidak pernah mencerca kaum musyrik yang dengan kasar dan angkuh menolak dakwahnya. Sebaliknya beliau justru memohonkan ampunan dan kebaikan bagi mereka karena mereka tidak tahu.
Selain itu, tingkat keimanan kita ditentukan salah satunya oleh pemakaian bahasa dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita tidak mampu berbahasa secara baik, kalau ucapan kita akan membuat orang lain sakit hati, marah, merasa kecil hati, dipojokkan ataupun dipermalukan, misalnya, maka kita dianjurkan lebih baik diam.
Betapa banyak persahabatan menjadi permusuhan dan betapa banyak kawan menjadi lawan hanya gara-gara pemakaian bahasa yang tidak sepatutnya.
Maka sungguh tepat sabda Rasulullah, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam". (HR Bukhari dan Muslim). Atau dalam sabdanya yang lain, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang baik bicaranya dan dengannya ia memperoleh keuntungan atau diam dan dengannya ia selamat."
Abu al-Hasan Ali al-Nashri al-Mawardi mengemukakan empat syarat dalam berbicara, yaitu (1) ada perlunya berbicara, (2) pada waktu dan tempatnya, (3) berbicara secukupnya, dan (4) diungkapkan dengan bahasa yang baik.
Sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk atau jahat juga akan mendatangkan keburukan atau kejahatan, yang pada akhirnya akan kembali kepada dan dirasakan oleh dirinya sendiri. "Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri''. (QS Al-Isra': 7).
Bahasa atau perkataan yang baik diibaratkan oleh Allah dalam QS Ibrahim 24-25 laksana sebuah pohon yang baik. Akarnya kuat, sehingga mampu menyimpan air dan menahan tanah dari erosi.
Cabang-cabangnya menjulang ke langit, sehingga bisa menjadi tempat berteduh dan memberikan kesejukan dan kenyamanan kepada orang yang berada di sekitarnya. Dan pada setiap musim mengeluarkan buahnya untuk dikonsumsi oleh manusia.
Belajar dari ibarat itu, seorang muslim harus senantiasa memperhatikan kualitas pemakaian bahasaya, baik isi maupun cara menyampaikannya. Kepada siapa ia berbicara, apakah kepada orang tua, guru, teman, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun, ia harus bisa menjaga ucapannya.
Bahkan dalam melakukan dakwah, Islam sangat menekankan penggunaan bahasa yang baik, yaitu berupa sikap bijaksana, nasihat dan argumen yang baik (QS An-Nahl: 125). Rasulullah tidak pernah mencerca kaum musyrik yang dengan kasar dan angkuh menolak dakwahnya. Sebaliknya beliau justru memohonkan ampunan dan kebaikan bagi mereka karena mereka tidak tahu.
Selain itu, tingkat keimanan kita ditentukan salah satunya oleh pemakaian bahasa dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita tidak mampu berbahasa secara baik, kalau ucapan kita akan membuat orang lain sakit hati, marah, merasa kecil hati, dipojokkan ataupun dipermalukan, misalnya, maka kita dianjurkan lebih baik diam.
Betapa banyak persahabatan menjadi permusuhan dan betapa banyak kawan menjadi lawan hanya gara-gara pemakaian bahasa yang tidak sepatutnya.
Maka sungguh tepat sabda Rasulullah, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam". (HR Bukhari dan Muslim). Atau dalam sabdanya yang lain, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang baik bicaranya dan dengannya ia memperoleh keuntungan atau diam dan dengannya ia selamat."
Abu al-Hasan Ali al-Nashri al-Mawardi mengemukakan empat syarat dalam berbicara, yaitu (1) ada perlunya berbicara, (2) pada waktu dan tempatnya, (3) berbicara secukupnya, dan (4) diungkapkan dengan bahasa yang baik.
sumber : Republika
Posting Komentar