Di mobil, perjalanan ketika suamiku baru menjemput aku di eki (stasiun) setelah tiba dari perjalanan ke luar kota. “Mas,... tadi abang (panggilan untuk putra sulung kami) jadi latihan karate khan ?”, tanyaku. 

“Jadi koog, tau ngga dek, tadi abang waktu mas bangunin tidur siang bilang apa ?. Masa’ abang baru aja melek langsung bilang gini, “Abi, okoshitekurete arigatou nee”. (Abi udah bangunin abang makasih yaa…). 

“Anak itu emang udah nihonjin (orang Jepang) banget kog perasaan”, komentar suamiku lebih lanjut. Aku hanya tersenyum, sambil membayangkan si abang. 

“Iyaa bener juga, masa’ cuman perkara dibangunin dari tidur siang aja begitu melek masih sempet-sempetnya inget untuk bilang arigato (terimakasih), kataku dalam hati. 

Aku lantas teringat kejadian beberapa hari yang lalu sepulang dari kampus membawa sisa camilanku yang tidak habis kumakan di lab. Abang menyambutku sambil bertanya, “Ummi, kore tabete ii ?” (Ummi, ini boleh abang makan ?). 

Ketika melihatku mengangguk si abang lantas berkata “Ummi, arigatou nee… oishii mono katte kurete, arigatou” . (Ummi, makasih yaa udah beliin abang makanan enak).

Deeg,… aku tersenyum kecut sambil melihat camilan yang mungkin sudah tidak sampai sepertiga lagi isinya. “Duuh,… kesindir anak kecil niih”, gumamku. Padahal camilan itu bukanlah makanan yang mewah atau enak sekali, dan kurasa cukup sering aku membelikan anak-anak panganan kecil semacam itu. Tapi entah mengapa, apresiasi yang diberikan seakan-akan melebihi apa yang diterimanya. Hhmm…khas nihonjin (orang Jepang). 

Memang begitulah salah satu budaya yang baik dari orang Jepang, lidah mereka terasa ringan untuk mengucapkan terima kasih. Jangankan untuk hal-hal yang besar, untuk hal-hal sepele saja orang Jepang mudah sekali memberikan apresiasi. 

Contoh yang sering dijumpai adalah bila kita masuk ke sebuah toko, walaupun kita tidak membeli sesuatu, katakanlah hanya sekedar window shopping, saat kita keluar dari toko, pelayan akan langsung memasang senyum dan mengucapkan arigatou gozaimasu (terima kasih) sambil sedikit membungkukkan badannya. Bagi orang Jepang kata-kata “Terima kasih” lazim diucapkan sampai tiga kali. Pertama, disaat mereka menerima barang atau bantuan jasa. Kedua, selang beberapa hari kemudian biasanya orang Jepang akan telfon untuk mengucapkan terima kasih atau pada kasus terhadap orang yang dihormati, biasanya mereka akan mengirimkan kartu pos tertulis ucapan terima kasih. Ketiga, saat jumpa kembali, mereka akan spontan mengatakan “Senjitsu domo arigatou” (Terima kasih yaa untuk kejadian waktu itu). 

Duh indahnya,… bila menerima perlakuan baik, mereka akan benar-benar mengingat dan menghargai. Belum lagi kebiasaan mereka berbalas hadiah, bila kita memberikan sesuatu hadiah, jangan heran bila selang beberapa hari mereka akan mengirimkan hadiah balasan sebagai ungkapan terima kasih. 

Coba mari kita buka lembaran hadist, sebenarnya Rasulullah SAW manusia agung yang dirahmati Allah, 14 abad yang lampau telah mengajarkan kita untuk berlaku serupa. Sebagaimana tertera dalam sebuah hadist yang bersumber dari Hadath Asy’as ra. Rasulullah SAW bersabda : 

“Orang-orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah ialah orang-orang yang paling banyak bersyukur/berterima kasih pada orang-orang “. (Al-Mu’jam Al Kabir Lit-Tabrani). 

Lantas mengapa kadang kita masih saja sulit untuk mengapresiasikan kebaikan orang-orang di sekeliling kita?. 

Saya teringat keluhan seorang kawan muslimah beberapa waktu yang lalu, “Bu Na, suami saya tuh kalau ke orang lain perasaan gampang banget deh bilang ‘Jazakumulloh khoiron katsiroo” (Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan lebih baik dan banyak). Tapi, misalnya kalo saya abis masak besar untuk menjamu temen-temen suami, trus nyuci setumpuk piring kotor, atau ngebuatin suami teh manis, hhmm… boro-boro ada ucapan singkat ‘terima kasih’, suami bisa noleh sambil senyum aja sudah bagus banget, eeh,…yang ada suami terus aja asyik melototin monitor”. “Eeeh, bukannya saya ngga ikhlas lho yaa… tapi khan seneng aja kalo suami tuh menghargai pekerjaan kita, jadi semangat gitu mau ngapa-ngapain”, tutur kawan tersebut. 

Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali saya mendengar curhat yang senada. Memang benar juga, kadang saya amati, para bapak acapkali memandang apa yang sudah dikerjakan isteri adalah kewajiban yang sudah sepatutkan dikerjakan. 

Padahal, sebenarnya tidak sedikit hal-hal yang dikerjakan isteri itu adalah justru merupakan kewajiban suami. Hanya karena rasa sayang terhadap suami, atau niatan beramal dengan harapan mendapat pahala yang lebih dari Allah, maka tugas-tugas suami lantas diambil alih, dan bila sudah keterusan, lama-kelamaan suami menganggap itu adalah sudah kewajiban isteri. Sehingga yang dulu awalnya hati selalu bersyukur, ucapan terima kasih senantiasa terucap tatkala isteri membantu meringankan tugas, lambat laun akan terlena, maka hilanglah sudah ucapan-ucapanterima kasih dan do’a “jazakillah khoir” itu.

Coba anda ingat, kapankah terkahir kali anda mengucapkan kata-kata mesra ungkapan terima kasih penuh do’a pada isteri anda?. Bila anda sudah lupa, tunggu apa lagi? alihkan sejenak pandangan anda dari layar monitor ini. Lantas segeralah buzz atau telfon isteri anda, dan katakanlah… insyallah sepulang anda kerja, isteri anda akan menyambut dengan mesra dan penuh kehangatan.

Kirana Ummu Syahid
ummu@syahid.com

Mas, buat laundry service selama 8 tahun ini, ade do’ain jazakalloh khoir
kore karamo yoroshiku nee….



sumber : eramuslim

Posting Komentar