Idul Fitri kali ini terasa istimewa. Selain momentum yang berdekatan dengan peringatan kemerdekaan negeri kita. Bagi saya, mudik terasa makin bermakna, karena adanya sebuah khutbah. Adalah sebuah peristiwa yang patut saya syukuri, ketika menjadi pendengar dari sebuah ceramah yang memikat. Menjadi sangat menarik, karena pesan pentingnya yang sangat melekat. Seketika, saya pun meyakini, sang khotib telah menggunakan formula kemelekatan dalam berceramah. Entah, beliau benar-benar memahami formula yang saya maksud, atau tidak. Yang pasti, hadir dampak baik. Salah satunya, seperti yang istri saya utarakan, “Jamaah ibu-ibu merasa terharu, mendengarkan khutbah tadi.” “Gituya”, jawab saya.
Saya tidak akan menuliskan detail betapa fasih bacaan Quran sang penceramah. Saya juga tak hendak mengajak Anda ikut merasakan pesona ruhiyah dari beliau. Pun, saya tidak mengundang Anda -pembaca- menyimak satu demi satu kejernihan kalimat persuasif yang beliau lontarkan. Dari semua formula berbicara di depan publik yang melekat, sebagaimana juga yang berlaku pada khutbah, di sini saya kupas satu poin saja. Ini bertujuan, supaya siapa pun pembaca yang berkesempatan menjadi pembicara publik dapat memberi dampak baik bagi audien. Panduan terpenting dalam tulisan ini ialah kesederhanaan pesan.
Pusat dari keseluruhan khutbah beliau terletak pada satu pesan penting. Secara umum kita mengenali susunan ceramah: pembukaan, isi, dan penutup. Menariknya, itu semua beliau jahitkan di atas satu ide dasar. Memang, beliau mengajukan masalah di awal ceramah; lalu menyodorkan solusi yang berdampak positif sebagai isian di tengah ceramah; kemudian
menutup ceramah dengan mengajak hadirin gunakan solusi itu dalam keseharian. Tapi lagi-lagi, semua panorama itu beliau satukan dalam sebuah bingkai tunggal. Hasil akhirnya, benar-benar harmonis.
Kalau saja, Anda hadir dalam khutbah itu. Anda pun setujui saya, bahwa ada satu pesan yang paling melekat. Dan menurut saya inilah poin terpentingnya. Sampai saat ini pun saya masih mengingatnya dengan baik. Bagaimana beliau bercerita…
“Suatu waktu, ulama’ besar Hasan al-Bashri mendapat kunjungan dari tiga orang tamu. Tamu pertama, mengeluhkan keadaan di daerahnya yang sedang mengalami kekeringan. “Banyak baca istighfar!” jawab beliau. Tamu berikutnya, menyampaikan bahwa kondisi kebunnya subur tapi sayang tidak juga berbuah. Sekali lagi, “Beristighfarlah!” ujar beliau. Tamu terakhir menyatakan bahwa ia sudah berkeluarga bertahun-tahun, namun tak kunjung dikaruniai keturunan. Lagi-lagi, nasihat beliau “Beristigfarlah.”
Istighfar. Iya, benar. Inilah ide dasarnya. Inilah pesan terpentingnya. Inilah bingkai tunggal pembentuk khutbah beliau.
Selanjutnya, dengan mengacungkan ketiga jari kanannya. Khotib menjelaskan bahwa istighfar mengandung tiga makna. Pertama, kesediaan diri untuk mengevaluasi diri. Kedua, keberanian mengakui kesalahan/kelemahan diri lantas meminta ampunan. Ketiga, kesadaran diri untuk terus melakukan perbaikan.
Maka, jika pun sepulang sholat ‘Id, jamaah beraktivitas kembali di tempatnya masing-masing. Berinteraksi dengan sesama dan saudara dalam rangka silaturrahim. Ada kemungkinan, di tengah semua kegiatannya, ia mulai lupa atas khutbah ‘Idul Fitri. Tapi, saya percaya ia tidak akan sepenuhnya melupakan pesan pentingnya. Apa? Istighfar. Begitu ia dapati masalah, lebih mudah baginya segera beristighfar karena inti ceramah sudah melekat pada dirinya. Begitu ia jumpai kondisi yang tak sesuai dengan keinginan, beristighfar ialah pilihan terdekat yang dapat ia kerjakan. Begitu ia mendengar teman bicaranya bertanya, “Khotib tadi ngomong, apa?” Serta merta, Anda pun spontan ikut menjawab, “Istighfar!”
Terbukti pada paragraf sebelumnya, Anda juga bisa cepat mengingat ide dasar dari khutbah yang saya hadiri. Seperti yang saya inginkan untuk kebaikan hidup Anda. Ketika Anda nanti berkesempatan bicara di muka umum, entah untuk berpidato, presentasi, atau yang lainnya. Ingatlah untuk selalu mengingatkan diri sendiri, sebuah prinsip penting. Yaitu? “Istighfar”. Oh, bukan itu maksud saya. Tapi ini, kesederhanaan pesan. Gituya.
Tentukan satu pesan terpenting untuk Anda bagikan. Berfokuslah pada gagasan utama itu, kemudian mewarnainya dengan skema dan alur yang mudah dicerna. Seperti apa, skema dan alur bicara yang mudah dicerna? Tanya Anda penasaran. Saya akan sajikan jawabannya, di tulisan-tulisan berikutnya. Oleh karena itu, pastikan Anda terus membaca serial panduan ini.
Dengan membaca hingga akhir tulisan ini, pasti jadi lebih mudah bagi Anda mengenali sosok pembicara yang andal. Dan sebagai pelatih pembicara yang persuasif, semoga kehadiran tulisan ini memenuhi harapan saya. Semoga Anda makin mahir dalam menempelkan gagasan ke benak pendengar. Ketika bicara di depan publik, selalu ingatkan diri sendiri untuk gunakan satu prinsip penting ini: kesederhanaan pesan. Jika pun Anda kelupaan, mungkin itu saatnya Anda menerapkan pesan cerita di atas, “Beristighfar”.
Pesan sederhananya sungguh melekat, bukan?
Saya tidak akan menuliskan detail betapa fasih bacaan Quran sang penceramah. Saya juga tak hendak mengajak Anda ikut merasakan pesona ruhiyah dari beliau. Pun, saya tidak mengundang Anda -pembaca- menyimak satu demi satu kejernihan kalimat persuasif yang beliau lontarkan. Dari semua formula berbicara di depan publik yang melekat, sebagaimana juga yang berlaku pada khutbah, di sini saya kupas satu poin saja. Ini bertujuan, supaya siapa pun pembaca yang berkesempatan menjadi pembicara publik dapat memberi dampak baik bagi audien. Panduan terpenting dalam tulisan ini ialah kesederhanaan pesan.
Pusat dari keseluruhan khutbah beliau terletak pada satu pesan penting. Secara umum kita mengenali susunan ceramah: pembukaan, isi, dan penutup. Menariknya, itu semua beliau jahitkan di atas satu ide dasar. Memang, beliau mengajukan masalah di awal ceramah; lalu menyodorkan solusi yang berdampak positif sebagai isian di tengah ceramah; kemudian
menutup ceramah dengan mengajak hadirin gunakan solusi itu dalam keseharian. Tapi lagi-lagi, semua panorama itu beliau satukan dalam sebuah bingkai tunggal. Hasil akhirnya, benar-benar harmonis.
Kalau saja, Anda hadir dalam khutbah itu. Anda pun setujui saya, bahwa ada satu pesan yang paling melekat. Dan menurut saya inilah poin terpentingnya. Sampai saat ini pun saya masih mengingatnya dengan baik. Bagaimana beliau bercerita…
“Suatu waktu, ulama’ besar Hasan al-Bashri mendapat kunjungan dari tiga orang tamu. Tamu pertama, mengeluhkan keadaan di daerahnya yang sedang mengalami kekeringan. “Banyak baca istighfar!” jawab beliau. Tamu berikutnya, menyampaikan bahwa kondisi kebunnya subur tapi sayang tidak juga berbuah. Sekali lagi, “Beristighfarlah!” ujar beliau. Tamu terakhir menyatakan bahwa ia sudah berkeluarga bertahun-tahun, namun tak kunjung dikaruniai keturunan. Lagi-lagi, nasihat beliau “Beristigfarlah.”
Istighfar. Iya, benar. Inilah ide dasarnya. Inilah pesan terpentingnya. Inilah bingkai tunggal pembentuk khutbah beliau.
Selanjutnya, dengan mengacungkan ketiga jari kanannya. Khotib menjelaskan bahwa istighfar mengandung tiga makna. Pertama, kesediaan diri untuk mengevaluasi diri. Kedua, keberanian mengakui kesalahan/kelemahan diri lantas meminta ampunan. Ketiga, kesadaran diri untuk terus melakukan perbaikan.
Maka, jika pun sepulang sholat ‘Id, jamaah beraktivitas kembali di tempatnya masing-masing. Berinteraksi dengan sesama dan saudara dalam rangka silaturrahim. Ada kemungkinan, di tengah semua kegiatannya, ia mulai lupa atas khutbah ‘Idul Fitri. Tapi, saya percaya ia tidak akan sepenuhnya melupakan pesan pentingnya. Apa? Istighfar. Begitu ia dapati masalah, lebih mudah baginya segera beristighfar karena inti ceramah sudah melekat pada dirinya. Begitu ia jumpai kondisi yang tak sesuai dengan keinginan, beristighfar ialah pilihan terdekat yang dapat ia kerjakan. Begitu ia mendengar teman bicaranya bertanya, “Khotib tadi ngomong, apa?” Serta merta, Anda pun spontan ikut menjawab, “Istighfar!”
Terbukti pada paragraf sebelumnya, Anda juga bisa cepat mengingat ide dasar dari khutbah yang saya hadiri. Seperti yang saya inginkan untuk kebaikan hidup Anda. Ketika Anda nanti berkesempatan bicara di muka umum, entah untuk berpidato, presentasi, atau yang lainnya. Ingatlah untuk selalu mengingatkan diri sendiri, sebuah prinsip penting. Yaitu? “Istighfar”. Oh, bukan itu maksud saya. Tapi ini, kesederhanaan pesan. Gituya.
Tentukan satu pesan terpenting untuk Anda bagikan. Berfokuslah pada gagasan utama itu, kemudian mewarnainya dengan skema dan alur yang mudah dicerna. Seperti apa, skema dan alur bicara yang mudah dicerna? Tanya Anda penasaran. Saya akan sajikan jawabannya, di tulisan-tulisan berikutnya. Oleh karena itu, pastikan Anda terus membaca serial panduan ini.
Dengan membaca hingga akhir tulisan ini, pasti jadi lebih mudah bagi Anda mengenali sosok pembicara yang andal. Dan sebagai pelatih pembicara yang persuasif, semoga kehadiran tulisan ini memenuhi harapan saya. Semoga Anda makin mahir dalam menempelkan gagasan ke benak pendengar. Ketika bicara di depan publik, selalu ingatkan diri sendiri untuk gunakan satu prinsip penting ini: kesederhanaan pesan. Jika pun Anda kelupaan, mungkin itu saatnya Anda menerapkan pesan cerita di atas, “Beristighfar”.
Pesan sederhananya sungguh melekat, bukan?
sumber : http://fimadani.com
Posting Komentar